Selasa, 09 September 2014

Donat Donat Berbaris



Donat Donat Berbaris
Pagi itu, aku tak melihat sosok anak yang selalu menjajakan dagangan donatnya dilapangan dekat skolah tempat aku mengajar. Senyumnya seakan menghilang tanpa bekas dilapang itu. Aku terus mencari keberadaan anak itu. Dalam hati ku berkata, ada apa dengan gadis kecil itu? kemana dia pergi hari ini? Dimana senyum itu saat ini berada?
Sebut saja Wati, gadis kecil yang berusia kurang lebih 7 tahun itu selalu datang ke lapangan sekolah dasar tempat aku mengajar. Dia datang hanya untuk menjual dagangannya. Ia menjual donat. Donat itu adalah buatan ibunya dan enak sekali. Tidak hanya itu, kadang-kadang ia juga menjual es lilin. Es lilin itu bukanlah ibunya yang buat, melainkan orang lain yang meminta ia menjualkan di sekolah. Donat dan es lilin  yang ia jual masing-masing seharga Rp 500,00.
Wati yang seharusnya duduk dibangku sekolah kini harus menjajakan dagangannya guna menyambung hidup demi membantu ayah dan ibunya. Dia tidak pernah mengenyam bangku sekolah layaknya anak seusianya akhirnya harus menanggu penderitaan mencari uang mengingat ayahnya hanyalah seorang pemecah batu dan ibunya seorang petani sayur sawi yang harus menghidupi kedelapan anak mereka termasuk wati. Wati adalah anak ke-5 dari 8 saudaranya. Dia memiliki 4 orang kakak laki-laki dan 3 orang adik perempuan. Ke empat kakak laki-lakinya menderita penyakit Folio. Anak pertama dari pasangan Syafi’i dan Maria sebut saja Fatih menderita penyakit itu sejak usianya 3 tahun. Deni (anak kedua) menderita penyakit itu sejak lahir. Dan 2 orang saudaranya yang lain adalah Dafa dan Dafi menderita penyakit ini sejak umur 3 bulan. Penyakit ini didiagnosa merupakan penyakit keturunan dari kakek mereka. Mereka sekarang hanya bisa berdiam diri dirumah. Ibunya yang mengurus mereka berempat hanya bisa pasrah, sabar dan ikhlas menjalani apa yang sudah Allah berikan dan takdirkan pada keluarganya.
Pernah suatu ketika aku menemui orang tua Wati dirumah. Awalnya aku ingin menemui Wati, tetapi dia sedang pergi bermain bersama temannya dikampung sebelah. Aku pun mulai berbicara masalah pengobatan kepada pak Syafi’i dengan nada suara yang rendah. Terlihat keempat anaknya sedang berbaring diatas tempat yang hanya beralaska tikar pandan yang sudah usang itu. Mereka adalah keempat kakak laki-laki Wati yang tadi aku ceritakan. Karena keterbatasan biayalah orang tua Wati tidak mampu mengobati keempat kakaknya.
“Wong saya hanya seorang buruh bu Nana, mana cukup uangnya untuk membiayai pengobatan keempat anak saya ini, untuk makan saja sudah alhamdulillah,” ujar pak Syafi’i.
“Pak, sekarang pemerintah sudah buat program untuk kesehatan. Namanya ASKES, nah sekarang sudah diganti namanya jadi BPJS atuh pak, sok diurus atuh pak, supaya bisa obatin anak-anak bapak. Biar sembuh lah. Jadi mereka bisa bersekolah atuh pak,”saranku kepada pria tua yang sudah bungkuk itu.
“Tetap aja neng, wong saya tidak sekolah gini, jadi saya tidak tahu gimana caranya mengurus surat-suratnya neng,”tambah pak Syafi’i.
Aku hanya terdiam, tak bisa berkata apa-apa. Tetapi apalah daya, aku hanyalah seorang guru dengan gaji yang pas-pasan. Uang gajiku habis hanya untuk membayar tagihan rumah kontrakan. Untuk makan saja aku haru mencari tambahan. Tak apalah, sebelum aku pulang aku memberikan uang gaji yang tersisa disaku kananku. Berharap, Pak Syafi’i dan keluarganya bisa makan enak malam ini. Mungkin uang yang hanya Rp 50.000,00 ini bermanfaat bagi keluarga kecil pak Syafi’i.
Aku pun pulang dengan harapan hampa. Berharap dengan gadis kecil penjual donat itu dirumahnya, tapi aku tak jumpa. Hmmm, sejenak berfikir dan berkata dalam hatiku, besok aku akan bertemu dengannya dilapangan sekolah.
Waktu terus berlalu. Bola mataku tak henti-hentinya mencari sosok gadis kecil berkucir itu. Tatapanku seakan mengisyaratkan bahwa aku merindukan senyuman hangat dari bibir kecil nan indah darinya.
Kemana Wati?Wati...Wati...dan Wati...
Hanya nama itu saja yang aku fikirkan. Fikiranku tak fokus. Geklisah hati ini. Perasaanku tiba-tiba tak enak. Apakah ini pertanda buruk. Aahhh, tak aku hiraukan fikiran itu. Mungkin itu hanya fikiranku saja yang terlalu berlarut.
Bel sekolah pun berbunyi. Anak-anak berlarian keluar dari pintu kelasku. Sambil bersalaman terlintas aku lihat orang-orang berjalan menuju rumah yang selalu aku singgahi. Itukan arah menuju rumah Wati, kenapa ibu-ibunya berjilbab semua? Apakah ada pengajian di mesjid dekat rumah Wati.
Tak berapa lama aku mendengar suara dari mesjid. Suara itu bukan adzan yang sering aku dengar, tapi sebuah pengumuman. Pengumuman duka dari sebuah keluarga kecil disekitaran mesjid itu. Ternyata Wati meninggal dunia. Gadis kecil itu sudah tiada.
Aahh, barang kali pengumuman itu salah. Tidak mungkin itu Wati. Kemarin saja aku masih melihatnya menjajakan dagangannya dilapangan sekolah. Tidak, tidak mungkin. Aku masih tidak percaya. Sampai aku bertanya kepada salah seorang orang tua murid dikelasku.
“Bu, bener atuh itu Wati, anak kecil yang sering jualan donat dilapangan sekolah ini meninggal,”aku bertanya dengan rasa penasaran yang cukup tinggi.
“Iya Bu guru Nana, itu mah Wati yang meninggal. Kemarin dia demam tinggi, tapi masih sempatnya menjajakan donatnya dilapangan ini Bu Guru,”ujar Bu Elis.
Sontak akupun terdiam, tanpa bisa berkata apa-apa. Tak terasa air mataku pun jatuh membasahi pipiku. Aku langsung berlari kearah dimana orang-orang juga mendatanginya. Aku datang, akupun langsung masuk ke rumah petak kecil itu. Aku melihat sebujur badan yang sudah kaku tak bernyawa. Aku pun mendekatinya untuk memastika bahwa itu bukanlah Wati. Tetapi aku salah. Itu adalah Wati. Berita itu benar. Wati, gadis kecil pedagang donat itu terbujur kaku sudah tak bernyawa. Senyumnya kini tak akan pernah aku lihat lagi.
Senyum polos Wati yang selalu menyejukkan hatiku. Seperti donat-donat yang berbaris

Tidak ada komentar:

Posting Komentar