Donat
Donat Berbaris
Pagi
itu, aku tak melihat sosok anak yang selalu menjajakan dagangan donatnya
dilapangan dekat skolah tempat aku mengajar. Senyumnya seakan menghilang tanpa
bekas dilapang itu. Aku terus mencari keberadaan anak itu. Dalam hati ku berkata,
ada apa dengan gadis kecil itu? kemana dia pergi hari ini? Dimana senyum itu
saat ini berada?
Sebut
saja Wati, gadis kecil yang berusia kurang lebih 7 tahun itu selalu datang ke
lapangan sekolah dasar tempat aku mengajar. Dia datang hanya untuk menjual
dagangannya. Ia menjual donat. Donat itu adalah buatan ibunya dan enak sekali.
Tidak hanya itu, kadang-kadang ia juga menjual es lilin. Es lilin itu bukanlah
ibunya yang buat, melainkan orang lain yang meminta ia menjualkan di sekolah. Donat
dan es lilin yang ia jual masing-masing
seharga Rp 500,00.
Wati
yang seharusnya duduk dibangku sekolah kini harus menjajakan dagangannya guna
menyambung hidup demi membantu ayah dan ibunya. Dia tidak pernah mengenyam
bangku sekolah layaknya anak seusianya akhirnya harus menanggu penderitaan
mencari uang mengingat ayahnya hanyalah seorang pemecah batu dan ibunya seorang
petani sayur sawi yang harus menghidupi kedelapan anak mereka termasuk wati.
Wati adalah anak ke-5 dari 8 saudaranya. Dia memiliki 4 orang kakak laki-laki
dan 3 orang adik perempuan. Ke empat kakak laki-lakinya menderita penyakit
Folio. Anak pertama dari pasangan Syafi’i dan Maria sebut saja Fatih menderita
penyakit itu sejak usianya 3 tahun. Deni (anak kedua) menderita penyakit itu
sejak lahir. Dan 2 orang saudaranya yang lain adalah Dafa dan Dafi menderita
penyakit ini sejak umur 3 bulan. Penyakit ini didiagnosa merupakan penyakit
keturunan dari kakek mereka. Mereka sekarang hanya bisa berdiam diri dirumah.
Ibunya yang mengurus mereka berempat hanya bisa pasrah, sabar dan ikhlas
menjalani apa yang sudah Allah berikan dan takdirkan pada keluarganya.
Pernah
suatu ketika aku menemui orang tua Wati dirumah. Awalnya aku ingin menemui
Wati, tetapi dia sedang pergi bermain bersama temannya dikampung sebelah. Aku pun
mulai berbicara masalah pengobatan kepada pak Syafi’i dengan nada suara yang
rendah. Terlihat keempat anaknya sedang berbaring diatas tempat yang hanya
beralaska tikar pandan yang sudah usang itu. Mereka adalah keempat kakak
laki-laki Wati yang tadi aku ceritakan. Karena keterbatasan biayalah orang tua
Wati tidak mampu mengobati keempat kakaknya.
“Wong
saya hanya seorang buruh bu Nana, mana cukup uangnya untuk membiayai pengobatan
keempat anak saya ini, untuk makan saja sudah alhamdulillah,” ujar pak Syafi’i.
“Pak,
sekarang pemerintah sudah buat program untuk kesehatan. Namanya ASKES, nah
sekarang sudah diganti namanya jadi BPJS atuh pak, sok diurus atuh pak, supaya bisa
obatin anak-anak bapak. Biar sembuh lah. Jadi mereka bisa bersekolah atuh
pak,”saranku kepada pria tua yang sudah bungkuk itu.
“Tetap
aja neng, wong saya tidak sekolah gini, jadi saya tidak tahu gimana caranya
mengurus surat-suratnya neng,”tambah pak Syafi’i.
Aku
hanya terdiam, tak bisa berkata apa-apa. Tetapi apalah daya, aku hanyalah
seorang guru dengan gaji yang pas-pasan. Uang gajiku habis hanya untuk membayar
tagihan rumah kontrakan. Untuk makan saja aku haru mencari tambahan. Tak apalah,
sebelum aku pulang aku memberikan uang gaji yang tersisa disaku kananku. Berharap,
Pak Syafi’i dan keluarganya bisa makan enak malam ini. Mungkin uang yang hanya
Rp 50.000,00 ini bermanfaat bagi keluarga kecil pak Syafi’i.
Aku
pun pulang dengan harapan hampa. Berharap dengan gadis kecil penjual donat itu
dirumahnya, tapi aku tak jumpa. Hmmm, sejenak berfikir dan berkata dalam
hatiku, besok aku akan bertemu dengannya dilapangan sekolah.
Waktu
terus berlalu. Bola mataku tak henti-hentinya mencari sosok gadis kecil
berkucir itu. Tatapanku seakan mengisyaratkan bahwa aku merindukan senyuman
hangat dari bibir kecil nan indah darinya.
Kemana
Wati?Wati...Wati...dan Wati...
Hanya
nama itu saja yang aku fikirkan. Fikiranku tak fokus. Geklisah hati ini. Perasaanku
tiba-tiba tak enak. Apakah ini pertanda buruk. Aahhh, tak aku hiraukan fikiran
itu. Mungkin itu hanya fikiranku saja yang terlalu berlarut.
Bel
sekolah pun berbunyi. Anak-anak berlarian keluar dari pintu kelasku. Sambil bersalaman
terlintas aku lihat orang-orang berjalan menuju rumah yang selalu aku singgahi.
Itukan arah menuju rumah Wati, kenapa ibu-ibunya berjilbab semua? Apakah ada
pengajian di mesjid dekat rumah Wati.
Tak
berapa lama aku mendengar suara dari mesjid. Suara itu bukan adzan yang sering
aku dengar, tapi sebuah pengumuman. Pengumuman duka dari sebuah keluarga kecil
disekitaran mesjid itu. Ternyata Wati meninggal dunia. Gadis kecil itu sudah
tiada.
Aahh,
barang kali pengumuman itu salah. Tidak mungkin itu Wati. Kemarin saja aku
masih melihatnya menjajakan dagangannya dilapangan sekolah. Tidak, tidak
mungkin. Aku masih tidak percaya. Sampai aku bertanya kepada salah seorang
orang tua murid dikelasku.
“Bu,
bener atuh itu Wati, anak kecil yang sering jualan donat dilapangan sekolah ini
meninggal,”aku bertanya dengan rasa penasaran yang cukup tinggi.
“Iya
Bu guru Nana, itu mah Wati yang meninggal. Kemarin dia demam tinggi, tapi masih
sempatnya menjajakan donatnya dilapangan ini Bu Guru,”ujar Bu Elis.
Sontak
akupun terdiam, tanpa bisa berkata apa-apa. Tak terasa air mataku pun jatuh
membasahi pipiku. Aku langsung berlari kearah dimana orang-orang juga
mendatanginya. Aku datang, akupun langsung masuk ke rumah petak kecil itu. Aku melihat
sebujur badan yang sudah kaku tak bernyawa. Aku pun mendekatinya untuk
memastika bahwa itu bukanlah Wati. Tetapi aku salah. Itu adalah Wati. Berita itu
benar. Wati, gadis kecil pedagang donat itu terbujur kaku sudah tak bernyawa. Senyumnya
kini tak akan pernah aku lihat lagi.
Senyum
polos Wati yang selalu menyejukkan hatiku. Seperti donat-donat yang berbaris
Tidak ada komentar:
Posting Komentar